-
How to insert SIM Card Cellphone Cellphone is a modern communication device which connects one to the...
-
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP menegaskan bahwa ”standar nasiona...
Selasa, 15 Maret 2011
بسم الله الرحمن الرحيم: Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani...
بسم الله الرحمن الرحيم: Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani...: "Biografi Singkat Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21 Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani Nama lengkap beliau adalah Prof...."
بسم الله الرحمن الرحيم: 3 Rukun agama
بسم الله الرحمن الرحيم: 3 Rukun agama: "Kalam Al-Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumaith Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam semesta. Saya memohon kepada Allah agar dianugerahi ..."
Sabtu, 12 Maret 2011
![]() | PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 14 TASIKMALAYA SEKOLAH STANDAR NASIONAL (SSN) Jl. AH. Nasution Km. 03 ( (0265) 332681 Tasikmalaya 46181 | |
Nomor : 421.3/ 025 - SMP.14/2011 20 Januari 2011
Hal : DISIPLIN JAM KERJA GURU DAN PNS
Yth. Guru dan Karyawan SMP Negeri 14 Tasikmalaya
Assalamu alaikum Wr.Wb.
Berdasarkan:
1. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2),
2. Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
5. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara RI Nomor 21 Tahun 2010 tanggal 1 Oktober 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
6. Peraturan Mendiknas RI Nomor 39 Tahun 2009 tanggal 30 Juli 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.
7. Peraturan Mendiknas RI Nomor 15 Tahun 2010 tanggal 9 Juli 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota.
Disampaikan dengan hormat kepada semua guru dan karyawan terutama PNS di lingkungan SMP Negeri 6 Tasikmalaya, untuk mengindahkan dan melaksanakan dengan penuh tanggung jawab kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan:
1. Ketentuan minimal 5 HARI KERJA (37,5 jam kerja per minggu atau 5 x 7,5 jam kerja per hari)
2. Ketentuan minimal 24 Jam Tatap Muka per minggu, sesuai ketentuan.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara RI Nomor 21 Tahun 2010 tanggal 1 Oktober 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS telah menetapkan KETENTUAN HUKUMAN DISIPLIN bagi PNS/Guru/Karyawan yang TIDAK MASUK KERJA/TIDAK MEMENUHI HARI KERJA, sebagai berikut:
No. | Jenis Pelanggaran (Tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah) selama: | Tingkat Hukuman | Jenis Hukuman Disiplin |
1. | 5 hari kerja | RINGAN | 1. Teguran Lisan |
2. | 6 s.d. 10 hari kerja | 2. Teguran secara Tertulis | |
3. | 11 s.d. 15 hari kerja | 3. Pernyataan tidak puas secara tertulis | |
4. | 16 s.d. 20 hari kerja | SEDANG | 4. Penundaan Kenaikan Gaji Berkala selama 1 tahun. |
5. | 21 s.d. 25 hari kerja | 5. Penundaan Kenaikan Pangkat selama 1 tahun | |
6. | 26 s.d. 30 hari kerja | 6. Penurunan Pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun. | |
7. | 31 s.d. 35 hari kerja | BERAT | 7. Penurunan Pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun. |
8. | 36 s.d. 40 hari kerja | 8. Pemindahan dalam rangka Penurunan Jabatan setingkat lebih rendah. | |
9. | 41 s.d. 45 hari kerja | 9. Pembebasan dari Jabatan PNS | |
10. | 46 hari kerja atau lebih | 10. Pemberhentian dengan Hormat tidak atas permintaan sendiri, atau Pemberhentian Tidak dengan hormat sebagai PNS. |
Berdasarkan ketentuan di atas, kami mohon saudara mengindahkan dan melaksanakan dengan penuh tanggung jawab KEWAJIBAN 5 HARI KERJA (37,5 jam per minggu) dan KEWAJIBAN MELAKSANAKAN KEWAJIBAN 24 JAM TATAP MUKA PER MINGGU (bagi Guru) sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian, ketentuan ini disampaikan untuk ditaati dan dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab.
Atas perhatian saudara kami ucapkan terima kasih.
| Tasikmalaya, 20 Januari 2012 Kepala SMP Negeri 14 Tasikmalaya Drs. H. Nurdin Ma’aludin., M.Pd. Pembina Tk. I, IV/b NIP 19620908 198204 1 008 |
Tembusan disampaikan dengan hormat kepada:
1. Yth. Walikota Tasikmalaya, sebagai laporan
2. Yth. Wakil Walikota Tasikmalaya, sebagai laporan
3. Yth. Kepala Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, sebagai laporan
4. Yth. Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, sebagai laporan
5. Yth. Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya sebagai laporan
6. Yth. Kepala Seksi SMP Bidang Pendidikan Dasar, sebagai laporan
7. Yth. Kepala Seksi Kurikulum SMP Bidang Pendidikan Dasar, sebagai laporan.
8. Yth. Kasubag UP Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya sebagai laporan
9. Yth. Pengawas Satuan Pendidikan sebagai laporan.
Sertifikasi Guru dan Dosen : Suatu Harapan atau Pelecehan
Setelah disahkannya undang-undang guru dan dosen, yakni Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru dan dosen kembali menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya, kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya, bahkan rektor UGM (Sofian Effendi) pernah mengatakan bahwa undang-undang guru dan dosen hanyalah sebuah pepesan kosong kalau urgensi dan subtansinya tidak realistis diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan (gaji) guru dan dosen.
Disamping itu, adanya beberapa pasal yang belum jelas bentuk implementasinya, khususnya pasal yang mengatur kualifikasi pendidikan dan pemberian tunjangan profesi. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (untuk dosen diatur dalam Pasal 45). Sertifikat pendidik ini merupakan prasyarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan pengakuan sebagai tenaga profesional. Kemudian dalam Pasal 16 disebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dengan demikian seorang guru atau dosen yang telah memperoleh sertifikat pendidik, akan mempdapatkan penghasilan yang terdiri dari : (1) gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, (2) tunjangan fungsional, dan (3) tunjangan profesi. Disamping itu, guru dan dosen akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah khusus.
Kalau dikalkulasi, penghasilan guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik memang memberikan harapan kesejahteraan yang sudah cukup. Tetapi kemudian masalahnya adalah harapan ini nampaknya masih dalam bentuk fatamorgana, karena untuk memperoleh tunjangan profesi yang diidamkan itu, harus melalui proses yang panjang. Dengan kata lain guru harus menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mengapa tidak, kalau dilihat dari persyaratan yang diajukan bahwa untuk memperoleh tunjangan profesi seorang guru harus mempunyai kualifikasi pendidikan serendah-rendahnya diploma empat (D4) dan harus mengikuti pendidikan profesi agar memperoleh sertifikat pendidik. Sementara itu, data dari kepegawaian (BAKN) menunjukkan bahwa ada ratusan ribu atau lebih guru-guru kita yang masih mempunyai kualifikasi pendidikan di bawah diploma empat (SLTA, SPG, PGSLTP, D1, D2, dan D3).
Dengan demikian bisa dibayangkan kalau sekiranya harus menunggu para guru yang belum memenuhi kualifikasi itu memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk implementasi undang-undang guru dan dosen. Apalagi kalau biaya untuk penyelenggaraan peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru itu diharapkan dari dana APBN atau APBD yang jumlahnya sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, suatu pertanyaan diajukan adalah : apakah sertifikasi guru dan dosen itu suatu harapan yang bisa diwujudkan guna mendapatkan imbalan finansial (gaji) yang layak bagi guru dan dosen ataukah sebuah bentuk pelecehan terhadap profesi guru dan dosen maupun terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ? Pertanyaan ini perlu diajukan karena paling tidak ada dua hal yang perlu dikaji berkaitan dengan pemberian tunjangan profesi.
Pertama, seorang guru atau dosen digaji berdasarkan jasanya atau sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Jadi kalau ada upaya pemerintah untuk menaikkan gaji guru dan dosen dalam bentuk pemberian tunjangan profesi, maka tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen. Sama halnya alasan yang dikemukakan oleh pemerintah ketika akan menaikkan gaji pejabat atau anggota dewan, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pejabat atau anggota dewan serta untuk menghindari adanya praktek penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Sehingga untuk menaikkan gaji pejabat dan anggota dewan tidak perlu ada persyaratan khusus seperti harus mempunyai sertifikat tertentu. Sekedar perbandingan, bahwa gaji seorang anggota dewan pada tingkat pusat (DPR RI) untuk satu bulan bisa dipakai untuk membayar gaji guru sebanyak 30 orang.
Oleh karena itu, adalah sangat tidak pantas apabila pemberian tunjangan profesi kepada guru dan dosen disertai persyaratan harus punya sertifikat pendidik Program sertifikasi itu lebih tepat ditujukan kepada mereka yang masih berstatus calon guru ataukah guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan yakni minimal diploma empat Hal ini didukung dalam Pasal 12 yang berbunyi : setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Pasal 12 ini sebenarnya telah mengindikasikan bahwa sertifikat pendidik itu sebaiknya diberikan kepada calon guru, bukan kepada orang yang sudah menjadi guru.
Kedua, LPTK adalah lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK ini kemudian mengeluarkan dua sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru atau dosen yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV apalagi dia adalah alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru dan dosen ataupun terhadap LTPK itu sendiri. Sehingga, kalau hal ini tetap dilakukan berarti sertifikat pendidik itu lebih tinggi kualitasnya/nilainya daripada ijazah Akta IV. Kalau demikian halnya untuk apa ijazah akta itu dikeluarkan oleh LPTK ? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru ? Bandingkan di luar negeri yang tidak mengenal LPTK (IKIP/FKIP). Apalagi kalau pendidikan profesi itu nantinya hanya diikuti oleh guru dan dosen dalam waktu singkat, misalnya paling lama satu bulan. Kemudian mereka diuji/diberikan tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang sifatnya instan (sesaat) lalu keluar keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberi sertifikat pendidik. Kalau pelaksanaannya demikian, berati program sertifikasi itu lebih kental nuansa proyeknya dari pada urgensi dan subtansinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru dan dosen.
Lebih lanjut dalam Pasal 10 disebutkan bahwa kompetensi yang dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Berdasarkan bunyi Pasal 10 ini memunculkan suatu pertanyaan bahwa apakah lulusan LPTK itu tidak mempunyai kompetensi pedagogik, sehingga harus diperoleh lagi lewat pendidikan profesi? Lalu pendidikan profesi yang dimaksud seperti apa modelnya, apa isi/materi pendidikannya dan ilmu macam apa yang diperoleh dari pendidikan itu?. Apakah masih pantas seorang guru besar (Profesor) misalnya, dengan kualifikasi pendidikan doktor (S3) dan sudah memiliki masa kerja 20 tahun masih harus mengikuti pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik guna mendapatkan pengakuan sebagai tenaga profesional sesuai dengan bunyi Pasal 3.
Oleh karena itu, pendidikan profesi sebaiknya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang ingin menjadi guru atau dosen, atau kepada guru atau dosen yang bukan lulusan LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Tentu langkah ini jauh lebih baik dilakukan, apabila pendidikan profesi itu memang dianggap sebagai penyempurnaan kompetensi guru dan dosen, bukan hanya ditujukan untuk memberi sertifikat pendidik kepada guru dan dosen sebagai prasyarat memperoleh tunjangan profesi. Apalagi dijadikan sebagai wahana mencari proyek baru yang beban pembiayaannya dicarikan melalui APBN atau APBD di masing-masing daerah. Adanya kegiatan para pejabat LPTK yang telah ditunjuk sebagai penyelenggara program sertifikasi untuk melalukan pertemuan (lobi) dengan pejabat PEMDA di beberapa daerah baru-baru ini, telah memunculkan anggapan bahwa rencana program sertifikasi itu lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangkan aspek urgensi, substansi, dan implementasinya
Dengan demikian, apabila pemerintah berkeinginan memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen, maka persyaratannya bukan pada sertifikat pendidik, tetapi persyaratannya sebaiknya dalam bentuk lain, misalnya dengan memperhitungkan : (1) Kualifikasi Pendidikan, (2) Masa Kerja, dan (3) Jenjang Kepangkatan/Golongan atau Jabatan akademik. Sehingga Pasal 16 sebaiknya direvisi menjadi : Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki : (1) Kualifikasi pendidikan minimal diploma empat, (2) Masa kerja sekurang-kurangnya 5 tahun, dan (3) Memiliki kepangkatan minimal Pengatur/Golongan ruang III/c atau Guru ahli. Untuk dosen : (1) kualifikasi pendidikan minimal S2, (2) pengalaman kerja minimal 5 tahun, dan (3) memiliki kepangkatan minimal Penata/Golongan ruang III/c atau Asisten ahli.
Dengan memperhitungkan ketiga persyaratan tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen. Ini akan lebih realistis dan tindakan yang lebih adil daripada harus memperoleh sertifikat pendidik model baru tersebut. Apabila hal ini dilakukan berarti guru dan dosen mendapatkan tunjangan profesi atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan pengalaman kerja dan kualifikasi pendidikannya, dan hal itu tentu mengalami proses yang harus ditempuh oleh seorang guru atau dosen sebagai wujud nyata dari pengabdian yang dilakukannya dalam jabatan/profesinya.
Oleh karena itu, apabila pemerintah memang berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, maka implementasi undang-undang guru dan dosen sudah seharusnya segera dilaksanakan, dan tidak perlu lagi harus menunggu program sertifikasi. Sebab program tersebut kemungkinan lebih banyak biasnya (merugikan keuangan negara) daripada manfaatnya kepada guru dan dosen. Pengalaman telah menunjukkan bahwa program Tes Kompetensi bagi guru yang telah dilakukan sejak tahun 2000 hingga 2003 hasilnya tidak banyak memberikan manfaat dan informasi yang berguna, bahkan tindak lanjut dari hasil tes kompetensi itu kurang mendapat perhatian. Guru yang telah dinyatakan kompeten maupun yang belum kompeten (berdasarkan hasil tes kompetensi) semuanya sama, yaitu mereka kembali mengajar seperti biasa, dan tidak pernah ada usaha tindak lanjut yang lebih nyata diberikan kepada guru yang dinyatakan tidak lulus atau belum kompeten itu. Ini berarti bahwa program Tes Kompetensi bagi guru hanya menghabiskan uang negara yang jumlahnya miliyaran bahkan triliyunan rupiah.
Disamping itu, adalah sungguh tidak layak jika kompetensi guru dan dosen diukur lewat tes kompetensi yang sifatnya hanya mengukur kemampuan kognitif. Kompetensi guru dan dosen tidak bisa diukur hanya lewat pemberian soal-soal kemudian dijawab dan diskor lalu diambil kesimpulan kompeten atau tidak kompeten. Kompetensi guru dan dosen bersifat holistik, menyeluruh dan meliputi banyak dimensi. Mulai dari aspek kognitif (penguasaan materi pelajaran), afektif, psikomotor, kemampuan mengajar termasuk penguasaan metodologi pembelajaran dan asesmen, prestasi belajar siswa hingga out comes suatu jenjang pendidikan. Karena itu, apabila ingin mengukurnya tidak cukup hanya memberikan soal-soal pilihan ganda kemudian dijawab dan diskor lalu diperoleh kesimpulan. Tes kompetensi guru yang dilaksanakan dalam kurung waktu 2000 hingga 2003 nampaknya hanya mengukur aspek kognitif, dan tentu saja hal ini merupakan suatu kesalahan yang besar.
Sudah cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa pemberian in service training kepada guru dalam bentuk kegiatan pelatihan/penataran dalam waktu relatif singkat dan sifatnya demonstratif tidak cukup signifikan meningkatkan kinerja, kualitas maupun profesionalisme guru. Banyak guru setelah mengikuti kegiatan pelatihan/penataran kemudian kembali ke sekolah tidak bisa berbuat banyak, bahkan mereka kembali mengajar seperti biasa tanpa adanya usaha inovatif dan kreatif untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan pelatihan/penataran. Mengapa demikian, berbagai alasan klasik sering mereka kemukakan di antaranya di sekolah tidak tersedia sarana dan prasarana pendukung, biaya tidak ada, jumlah murid terlalu banyak dan sebagainya.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah (Depdiknas) merubah model-model peningkatan kualitas/kompetensi/profesionalisme bagi guru lewat penataran/pelatihan yang sifatnya demonstratif dan selalu menggunakan metode prediksi dan estimasi. Usaha peningkatan kinerja/kompetensi guru harus diarahkan kepada program yang lebih realistis, salah satunya adalah meningkatkan gaji atau kesejahteraannya. Walaupun ratusan kali seorang guru mengikuti penataran/pelatihan, kinerja guru tidak akan optimal apabila kesejahteraannya (gaji) masih sangat minim. Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen untuk mengajar yang terbaik adalah dengan cara memberikan gaji yang layak. Kemudian setelah hal itu terpenuhi baru dilakukan tindakan pengawasan dan penegakan disiplin yang ketat, agar guru tidak lagi dijumpai berkeliaran kesana-sini pada waktu jam mengajar di sekolah dengan alasan untuk mencari tambahan penghasilan karena gaji yang diterimanya sangat minim. Demikian pula kepada para dosen, tidak perlu lagi harus hadir dimana-mana memberi kuliah di perguruan tinggi lain hanya dengan alasan menambah penghasilan.
Sebagai uraian penutup, ada beberapa hal yang disarankan: Pertama, pemerintah hendaknya segera mengimplementasikan undang-undang guru dan dosen dengan segera memberikan tunjangan profesi kepada mereka yang telah memenuhi persyaratan dengan memperhatikan : (1) Kualifikasi pendidikan, (2) Masa kerja, dan (3) Kepangkatam/Golongan atau Jabatan akademik, tidak perlu menggunakan persyaratan sertifikat pendidik. Dalam rangka itu pula, sebaiknya ditinjau kembali tentang pemberian standar gaji pokok bagi guru dan dosen. Selama ini, besarnya standar gaji pokok yang diberlakukan tidak memperhitungkan perbedaan kualifikasi pendidikan (S1,S2,S3). Besarnya gaji pokok yang diterima oleh guru atau dosen yang berpendidikan S1 sama dengan gaji pokok yang berpendidikan S2 atau S3. Perbedaannya hanya terletak pada masa kerja yang diperoleh melalui kenaikan gaji berkala. Akibatnya, banyak dosen setelah menyelesaikan pendidikan S2 apalagi S3 lebih banyak mencari pekerjaan tambahan diluar tugas pokoknya. Bahkan seringkali tugas pokoknya, yakni mengajar pada institusinya bukan lagi menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, dalam rangka implementasi undang-undang guru dan dosen sebaiknya dilengkapi standar pemberian gaji pokok dengan memperhitungkan kualifikasi pendidikan tersebut. Sehingga ada perbedaan nyata antara besarnya gaji pokok guru atau dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan S1, S2, dan S3. Adalah sungguh tidak adil dan bijaksana kalau besarnya standar gaji pokok guru dan dosen yang berkualifikasi pendidikan S1 disamakan dengan yang berpendidikan S2 apalagi S3.
Kedua, dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mendapatkan tunjangan profesi bagi guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimal diploma empat, pemerintah hendaknya segera membuat program peningkatan kualifikasi guru. Hal ini harus segera dilakukan agar guru yang belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan itu tidak asal mengikuti pendidikan pada salah satu perguruan tinggi dengan tujuan hanya sekedar memperoleh gelar diploma empat atau sarjana (S1), tanpa memperhatikan jurusan yang dipilih apakah sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Kalau hal ini terjadi, maka peningkatan kualifikasi akademik bagi guru nantinya tidak meningkatkan kualitas/kompetensinya. Dengan kata lain hanya bersifat formalitas.
Ketiga, apabila pendidikan profesi memang sangat diperlukan, maka pendidikan profesi itu sebaiknya direncanakan dan dirancang terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya mulai dari kurikulumnya sampai pada teknis pelaksanaannya, agar pelaksanaannya tidak terkesan terburu-buru yang berakibat kehilangan urgensi dan subtansinya. Disamping itu, agar isi/materi kependidikan yang ada pada kurikulum LPTK tidak tumpang tindih dengan materi/isi kurikulum pendidikan profesi tersebut. Demikian pula program pendidikan profesi yang dimaksud, hanya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang berminat menjadi guru atau dosen ataukah yang sudah menjadi guru atau dosen dengan latar belakang pendidikan non LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Kalau hal ini dilakukan berarti biaya pelaksanaan pendidikan profesi tidak lagi dibebankan kepada pemerintah, dan pelaksanaannya juga tidak bersifat instan. Tentu saja harus ada batasan yang jelas tentang kedudukan dan fungsi serta perbedaan nyata antara sertifikat pendidik dengan ijazah akta yang dikeluarkan oleh LPTK. Dengan demikian kedepan dalam rangka penerimaan calon guru baru khususnya CPNS, seorang calon harus memiliki : (1) Ijazah sarjana (S1), (2) Sertifikat pendidik (bagi lulusan non LPTK), dan (3) Ijazah akta IV.
Keempat, pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang guru dan dosen khususnya Pasal 2(2), Pasal 3(2), Pasal10, Pasal 16 (1), Pasal 47(1c) dan Pasal 53(1), agar isi undang-undang tersebut tidak menimbulkan masalah baru yang memberatkan bagi guru dan dosen. Tanpa adanya revisi pada pasal-pasal tersebut akan menimbulkan kesan bahwa kehadiran undang-undang tersebut hanya sebagai ajang memunculkan ide proyek baru, bukannya meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen.
Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling
Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling
Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lainPelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasifSesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa sajaBenarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klienCara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasiPerlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP menegaskan bahwa ”standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Adalah menjadi kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) untuk memenuhi standar nasional tersebut. Tidak ada kecualinya. Kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah kepada tercapainya standar minimal tersebut. Akan lebih bagus jika ada pembagian tugas yang jelas tentang usaha pencapaian standar nasional tersebut. Sebagai ilustrasi, usaha pencapaian standar minimal sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, sedang usaha penyelenggaraan pendidikan melebihi standar minimal menjadi kewajiban masyarakat, karena kita sama sekali tidak dilarang untuk mengusahakan urusan pendidikan melebihi dari standar minimal tersebut. Usaha penyelenggaraan pendidikan yang melebihi standar diusahakan oleh masyarakat, termasuk dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dengan mengikuti model-model lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang dapat dijadikan contoh, seperti Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut.
Sementara itu, SPM yang sebenarnya telah lahir jauh sebelum SNP, sebenarnya merupakan ketentuan tentang standar layanan minimal yang harus diupayakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, yang tidak lain menjadi prasyarat untuk mencapai SNP. Adapun SNP yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 meliputi delapan aspek pendidikan sebagai berikut:
Di samping itu, PP Nomor 19 Tahun 2005 dengan tegas telah menjelaskan bahwa fungsi SNP adalah ”sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu” (Pasal 3) Fungsi inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk pegiat pendidikan, baik dari unsur birokrasi (dinas pendidikan) maupun dari unsur masyarakat (dewan pendidikan dan komite sekolah). Semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan harus berdasarkan SNP. Berapa unit sekolah baru yang akan dibangun pada tahun ini, sebagai misal, juga harus berdasarkan data kesenjangan antara data yang akurat di lapangan dengan standar minimal yang diharuskan. Berapa ruang laboratorium sains yang harus dibangun, sebagai contoh yang lain, sudah barang tentu juga harus berdasarkan data akurat kesenjangan antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan. Demikian seterusnya. Tidak ada kebijakan, program, dan kegiatan yang dimasukkan ke dalam RK-AKL (rencana kerja dan anggaran lembaga pemerintah) di setiap satuan kerja dalam lingkungan pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Antara harapan dan kenyataan biasanya memang sering terjadi kesenjangan. Jika SPN merupakan harapan, maka kondisi sekolah pada saat ini adalah kenyataan yang ada lapangan. Kondisi satuan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat bervariasi. Beberapa di antara satuan pendidikan di Indonesia ada yang telah jauh melejit melampaui standar nasional, dan oleh karena itu satuan pendidikan seperti ini dapat disebut sebagai sekolah berstandar nasional, atau bahkan menuju standar internasional. Namun kebanyakan satuan pendidikan di negara kita justru masih jauh dari standar minimal yang telah ditetapkan. Ibarat berlari, untuk memenuhi standar minimal, sekolah ini terpaksa harus bernafas yang terengah-engah.
Gerakan Nasional SNP
Agar kita memiliki data yang akurat tentang kesenjangan antara SNP dan kondisi pendidikan kita di lapangan, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sebaiknya segera melakukan semacam gerakan nasional pemetaan atau pendataan kesenjangan antara kondisi satuan pendidikan kita dengan SNP yang harus dicapai. Gerakan nasional ini dapat menjadi semacam sensus standar nasional pendidikan, yang akan dijadikan data akurat secara nasional untuk mengubah kondisi pendidikan nasional menjadi pendidikan nasional yang diharapkan. Setiap Dinas Pendidikan di kabupaten/kota harus dapat menjadi leading sector dalam gerakan nasional ini. Penulis banyak memperoleh informasi dari daerah tentang contoh-contoh penerapan otonomi daerah yang sungguh sangat menggelikan. Ada camat yang diangkat dari kepala sekolah. Dengan demikian, sehabis menghadiri rapat di kecamatan, sekretaris kecamatan dan para pegawainya menjadi tertawa ”cekikikan” lantaran seakan menjadi siswa SMA kembali, karena rapat di kecamatan kali ini dipimpin oleh camat yang berasal dari mantan kepala sekolah. Sebaliknya, ada pula kepala dinas pendidikan yang berasal dari kepala dinas sosial. Para pegawai dinas pendidikan terasa aneh karena telah diberlakukan sebagai pengurus panti asuhan. Itulah beberapa contoh otonomi daerah yang disebut ”kebablasan”. Satu contoh lagi, konon BSNP telah mengirimkan analisis hasil UN kepada para kepala dinas pendidikan. Ternyata, data itu hanya menjadi dokumen yang mati di dalam laci. Ternyata, dokumen penting itu harus segera dikomunikasikan dan disosialisasikan oleh dinas penddiikan kepada semua sekolah, sehinga kepala sekolah menggunakannya sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Kembali kepada gerakan nasional pemetaan dan pendataan kesenjangan antara SNP dengan kondisi di lapangan, dinas pendidikan harus didorong untuk melaksanakan kegiatan itu. Data dan informasi yang dihasilkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota menjadi bahan utama penyusunan RPDK (Rencana Pembangunan Dikdasmen tingkat Kabupaten) yang sekarang ini menjadi pola penyusunan rencana dan program di Sekretariat Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen. Pekerjaan besar ini sudah barang tentu memerlukan bantuan dan dukungan dari semua pemangku kepentingan, antara lain adalah dengan dewan pendidikan dan komite sekolah.
Peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Salah satu peran Dewan Pendidikan yang harus diemban dalam meningkatkan layanan pendidikan adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah. Demikian juga halnya dengan Komite Sekolah yang juga memiliki peran yang sama untuk memberikan pertimbangan kepada sekolah. Pertanyaannya, apa yang harus diberikan pertimbangan, jika mereka tidak memiliki substansi yang harus disampaikan kepada pemerintah daerah atau sekolah? Substansi itu antara lain adalah tentang data dan informasi tentang kondisi pendidikan di daerahnya?
Apa yang harus kita lakukan jika diketahui bahwa banyak pejabat sruktural di dinas pendidikan ternyata tidak memiliki kualifikasi akademis “pendidikan”. Apa yang harus kita lakukan jika kemudian diketahui bahwa sebagian besar jumlah siswa setiap kelas ternyata lebih dari 40 orang? Berapa, dimana, dan seterusnya. Semua itu terkait dengan data dan informasi yang akurat. Gerakan nasional inilah yang kita maksudkan untuk mengetahui kesenjangan antara kondisi di lapangan dengan SNP yang diharapkan.Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari usaha besar ini.
Pemerintah daerah kabupaten/kota harus membentuk kelompok kerja (pokja) pemetaan dan pendataan kesejanjangan kondisi pendidikan dengan SPN, yang anggotanya adalah semua pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota, yaitu: (1) Dinas Pendidikan, (2) Bappeda, (3) DPRD, (4) BPS, dan (5) Dewan Pendidikan. Sementara pemerintah daerah provinsi melakukan hal yang sama sesuai dengan kewenangannya, setidaknya bersifat koordinatif yakni untuk membuat rekapitulasi data yang telah diperoleh oleh kelompok kerja tingkat kabupaten/kota. Sedangkan di tingkat satuan pendidikan sekolah/madrasah, kelompok kerjanya meliputi pemangku kepentingan, yaitu: (1) kepala sekolah dan tenaga kependidikan, (2) dewan pendidik, dan (3) komite sekolah. Semua pemangku kepentingan tersebut harus dilibatakan dalam usaha besar untuk mengadakan kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan standar nasional pendidikan. Tugas pokja tersebut antara lain adalah: (1) menyusun desain dan format-format pemetaan dan pendataaan, (2) menyusun instrumen pendataan, (3) melaksanakan pendataan, (3) melakukan pengolahan data, dan (4) melaporkan hasil pendataan kepada institusi yang terkait, termasuk kepada Ditjen Mandikdasmen Depdiknas dan juga kepada publik, sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Format Pemetaan Standar Pendidikan Nasional
Berikut ini dilampirkan 2 (dua) contoh format pemetaan standar pada satuan pendidikan sekolah dasar dan menengah, yaitu: (1) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar proses, (2) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar kepala sekolah sebagaimana terlampir. Format-format lainnya dapat dikembangkan lebih lanjut untuk standar-standar yang lain.
Pasca Standar Nasional Pendidikan
Kelahiran SNP harus kita sambut dengan semangat baru untuk siap melaksanakan tugas-tugas besar yang menghadang di hadapan kita. Depdiknas, dinas pendidikan, dan semua pemangku kepentingan pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak hanya menunggu bola, tetapi harus secara proaktif berdiri di garis terdepan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air. Perlu difahami bahwa SPN bukan barang mati yang tidak berubah, karena SPN juga harus disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global (Pasal 2).
Tujuan pemberlakuan SNP pada hakikatnya adalah menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.(Pasal 4). Perumusan SNP memang berat dan telah dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan melebihi waktu yang ditentukan dalam PP, yakni dua tahun (Pasal 96). Pelaksanaan PP akan jauh lebih berat dan lebih lama lagi. Itulah sebabnya, maka pasca standar nasional pendidikan semua pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai tugas berat, yakni mengadakan segera kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan SNP, sebagai dasar untuk merencanakan pembangunan pendidikan di masa mendatang.
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP menegaskan bahwa ”standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Adalah menjadi kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) untuk memenuhi standar nasional tersebut. Tidak ada kecualinya. Kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah kepada tercapainya standar minimal tersebut. Akan lebih bagus jika ada pembagian tugas yang jelas tentang usaha pencapaian standar nasional tersebut. Sebagai ilustrasi, usaha pencapaian standar minimal sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, sedang usaha penyelenggaraan pendidikan melebihi standar minimal menjadi kewajiban masyarakat, karena kita sama sekali tidak dilarang untuk mengusahakan urusan pendidikan melebihi dari standar minimal tersebut. Usaha penyelenggaraan pendidikan yang melebihi standar diusahakan oleh masyarakat, termasuk dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dengan mengikuti model-model lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang dapat dijadikan contoh, seperti Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut.
Sementara itu, SPM yang sebenarnya telah lahir jauh sebelum SNP, sebenarnya merupakan ketentuan tentang standar layanan minimal yang harus diupayakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, yang tidak lain menjadi prasyarat untuk mencapai SNP. Adapun SNP yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 meliputi delapan aspek pendidikan sebagai berikut:
- standar isi;
- standar proses;
- standar kompetensi lulusan;
- standar pendidi dan tenaga kependidikan;
- standar sarana dan prasarana;
- standar pengelolaan;
- standar pembiayaan; dan
- standar penilaian pendidikan.
Di samping itu, PP Nomor 19 Tahun 2005 dengan tegas telah menjelaskan bahwa fungsi SNP adalah ”sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu” (Pasal 3) Fungsi inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk pegiat pendidikan, baik dari unsur birokrasi (dinas pendidikan) maupun dari unsur masyarakat (dewan pendidikan dan komite sekolah). Semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan harus berdasarkan SNP. Berapa unit sekolah baru yang akan dibangun pada tahun ini, sebagai misal, juga harus berdasarkan data kesenjangan antara data yang akurat di lapangan dengan standar minimal yang diharuskan. Berapa ruang laboratorium sains yang harus dibangun, sebagai contoh yang lain, sudah barang tentu juga harus berdasarkan data akurat kesenjangan antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan. Demikian seterusnya. Tidak ada kebijakan, program, dan kegiatan yang dimasukkan ke dalam RK-AKL (rencana kerja dan anggaran lembaga pemerintah) di setiap satuan kerja dalam lingkungan pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Antara harapan dan kenyataan biasanya memang sering terjadi kesenjangan. Jika SPN merupakan harapan, maka kondisi sekolah pada saat ini adalah kenyataan yang ada lapangan. Kondisi satuan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat bervariasi. Beberapa di antara satuan pendidikan di Indonesia ada yang telah jauh melejit melampaui standar nasional, dan oleh karena itu satuan pendidikan seperti ini dapat disebut sebagai sekolah berstandar nasional, atau bahkan menuju standar internasional. Namun kebanyakan satuan pendidikan di negara kita justru masih jauh dari standar minimal yang telah ditetapkan. Ibarat berlari, untuk memenuhi standar minimal, sekolah ini terpaksa harus bernafas yang terengah-engah.
Gerakan Nasional SNP
Agar kita memiliki data yang akurat tentang kesenjangan antara SNP dan kondisi pendidikan kita di lapangan, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sebaiknya segera melakukan semacam gerakan nasional pemetaan atau pendataan kesenjangan antara kondisi satuan pendidikan kita dengan SNP yang harus dicapai. Gerakan nasional ini dapat menjadi semacam sensus standar nasional pendidikan, yang akan dijadikan data akurat secara nasional untuk mengubah kondisi pendidikan nasional menjadi pendidikan nasional yang diharapkan. Setiap Dinas Pendidikan di kabupaten/kota harus dapat menjadi leading sector dalam gerakan nasional ini. Penulis banyak memperoleh informasi dari daerah tentang contoh-contoh penerapan otonomi daerah yang sungguh sangat menggelikan. Ada camat yang diangkat dari kepala sekolah. Dengan demikian, sehabis menghadiri rapat di kecamatan, sekretaris kecamatan dan para pegawainya menjadi tertawa ”cekikikan” lantaran seakan menjadi siswa SMA kembali, karena rapat di kecamatan kali ini dipimpin oleh camat yang berasal dari mantan kepala sekolah. Sebaliknya, ada pula kepala dinas pendidikan yang berasal dari kepala dinas sosial. Para pegawai dinas pendidikan terasa aneh karena telah diberlakukan sebagai pengurus panti asuhan. Itulah beberapa contoh otonomi daerah yang disebut ”kebablasan”. Satu contoh lagi, konon BSNP telah mengirimkan analisis hasil UN kepada para kepala dinas pendidikan. Ternyata, data itu hanya menjadi dokumen yang mati di dalam laci. Ternyata, dokumen penting itu harus segera dikomunikasikan dan disosialisasikan oleh dinas penddiikan kepada semua sekolah, sehinga kepala sekolah menggunakannya sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Kembali kepada gerakan nasional pemetaan dan pendataan kesenjangan antara SNP dengan kondisi di lapangan, dinas pendidikan harus didorong untuk melaksanakan kegiatan itu. Data dan informasi yang dihasilkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota menjadi bahan utama penyusunan RPDK (Rencana Pembangunan Dikdasmen tingkat Kabupaten) yang sekarang ini menjadi pola penyusunan rencana dan program di Sekretariat Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen. Pekerjaan besar ini sudah barang tentu memerlukan bantuan dan dukungan dari semua pemangku kepentingan, antara lain adalah dengan dewan pendidikan dan komite sekolah.
Peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Salah satu peran Dewan Pendidikan yang harus diemban dalam meningkatkan layanan pendidikan adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah. Demikian juga halnya dengan Komite Sekolah yang juga memiliki peran yang sama untuk memberikan pertimbangan kepada sekolah. Pertanyaannya, apa yang harus diberikan pertimbangan, jika mereka tidak memiliki substansi yang harus disampaikan kepada pemerintah daerah atau sekolah? Substansi itu antara lain adalah tentang data dan informasi tentang kondisi pendidikan di daerahnya?
Apa yang harus kita lakukan jika diketahui bahwa banyak pejabat sruktural di dinas pendidikan ternyata tidak memiliki kualifikasi akademis “pendidikan”. Apa yang harus kita lakukan jika kemudian diketahui bahwa sebagian besar jumlah siswa setiap kelas ternyata lebih dari 40 orang? Berapa, dimana, dan seterusnya. Semua itu terkait dengan data dan informasi yang akurat. Gerakan nasional inilah yang kita maksudkan untuk mengetahui kesenjangan antara kondisi di lapangan dengan SNP yang diharapkan.Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari usaha besar ini.
Pemerintah daerah kabupaten/kota harus membentuk kelompok kerja (pokja) pemetaan dan pendataan kesejanjangan kondisi pendidikan dengan SPN, yang anggotanya adalah semua pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota, yaitu: (1) Dinas Pendidikan, (2) Bappeda, (3) DPRD, (4) BPS, dan (5) Dewan Pendidikan. Sementara pemerintah daerah provinsi melakukan hal yang sama sesuai dengan kewenangannya, setidaknya bersifat koordinatif yakni untuk membuat rekapitulasi data yang telah diperoleh oleh kelompok kerja tingkat kabupaten/kota. Sedangkan di tingkat satuan pendidikan sekolah/madrasah, kelompok kerjanya meliputi pemangku kepentingan, yaitu: (1) kepala sekolah dan tenaga kependidikan, (2) dewan pendidik, dan (3) komite sekolah. Semua pemangku kepentingan tersebut harus dilibatakan dalam usaha besar untuk mengadakan kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan standar nasional pendidikan. Tugas pokja tersebut antara lain adalah: (1) menyusun desain dan format-format pemetaan dan pendataaan, (2) menyusun instrumen pendataan, (3) melaksanakan pendataan, (3) melakukan pengolahan data, dan (4) melaporkan hasil pendataan kepada institusi yang terkait, termasuk kepada Ditjen Mandikdasmen Depdiknas dan juga kepada publik, sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Format Pemetaan Standar Pendidikan Nasional
Berikut ini dilampirkan 2 (dua) contoh format pemetaan standar pada satuan pendidikan sekolah dasar dan menengah, yaitu: (1) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar proses, (2) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar kepala sekolah sebagaimana terlampir. Format-format lainnya dapat dikembangkan lebih lanjut untuk standar-standar yang lain.
Pasca Standar Nasional Pendidikan
Kelahiran SNP harus kita sambut dengan semangat baru untuk siap melaksanakan tugas-tugas besar yang menghadang di hadapan kita. Depdiknas, dinas pendidikan, dan semua pemangku kepentingan pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak hanya menunggu bola, tetapi harus secara proaktif berdiri di garis terdepan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air. Perlu difahami bahwa SPN bukan barang mati yang tidak berubah, karena SPN juga harus disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global (Pasal 2).
Tujuan pemberlakuan SNP pada hakikatnya adalah menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.(Pasal 4). Perumusan SNP memang berat dan telah dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan melebihi waktu yang ditentukan dalam PP, yakni dua tahun (Pasal 96). Pelaksanaan PP akan jauh lebih berat dan lebih lama lagi. Itulah sebabnya, maka pasca standar nasional pendidikan semua pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai tugas berat, yakni mengadakan segera kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan SNP, sebagai dasar untuk merencanakan pembangunan pendidikan di masa mendatang.
Langganan:
Postingan (Atom)